Webinar 3: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bahas Pendidikan Inklusif (Integrasi Nilai Islam dalam Isu Gender, Seksisme, dan Rasisme)
Webinar ke-3 bertema “Mewujudkan Pendidikan Berkeadilan dan Inklusif Sejak Usia Dini”
Yogyakarta - Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali menyelenggarakan Webinar ke-3 dengan tema “Mewujudkan Pendidikan Berkeadilan dan Inklusif Sejak Usia Dini: Integrasi Nilai Islam dalam Menghadapi Isu Gender, Seksisme, dan Rasisme.” yang digelar oleh mahasiswa Field Study Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Magister Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (31/10/2025) malam hari.
Webinar yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom ini menghadirkan dua pembicara muda, Nadila Adiansa, S.Pd. dan Fanida Susilowardani, S.Pd., dengan Ilham Hardianto, S.Pd. sebagai moderator. Kegiatan ini menjadi bagian dari program Field Study yang dirancang untuk memperluas wawasan mahasiswa tentang penerapan nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan anak usia dini.
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Dr. Muhammad Wasith Achadi, S.Ag., M.Ag. Dalam sambutannya, Dr. Wasith menyampaikan apresiasi kepada panitia dan peserta atas antusiasme serta partisipasi aktif yang terus menghidupkan semangat akademik. Ia menegaskan bahwa forum ilmiah semacam ini perlu terus diselenggarakan karena dunia pendidikan saat ini menghadapi berbagai isu, fenomena, dan problem yang membutuhkan kajian mendalam secara ilmiah. Menurutnya, kegiatan ini merupakan wadah penting untuk menyiapkan pendidik dan calon guru yang inovatif, berkarakter, serta responsif terhadap perubahan zaman.
Terkait tema webinar, Dr. Wasith menekankan bahwa pendidikan inklusif berarti memberikan ruang bagi semua individu tanpa diskriminasi, baik berdasarkan gender, suku, agama, status sosial, maupun kondisi fisik. Pendidikan Islam, menurut beliau, harus berlandaskan nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, serta menyediakan sarana dan prasarana yang mengakomodasi seluruh peserta didik, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan. Ia menegaskan kembali bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia, sehingga tidak boleh ada sekat sosial atau perlakuan diskriminatif di dalamnya.
“Pendidikan Inklusif dan Kesadaran Anti-Diskriminasi Sejak Usia Dini”
Pemateri pertama, Nadila Adiansa, menjelaskan bahwa setiap individu sejak lahir telah memiliki identitas suku, agama, ras, dan jenis kelamin. Keberagaman ini seringkali memicu perselisihan apabila tidak dikelola dengan baik, sehingga pendidikan harus menjadi ruang inklusif yang terbuka bagi semua tanpa pembedaan.
Ia menegaskan perbedaan antara gender dan jenis kelamin. Jenis kelamin bersifat biologis dan tetap, sementara gender merupakan konstruksi sosial yang dapat berubah sesuai budaya. Nadila juga mengulas tentang seksisme, yaitu bentuk diskriminasi berdasarkan gender atau jenis kelamin, yang dapat berdampak pada tumbuhnya ketidakadilan pada anak, kebingungan peran sosial, atau kecenderungan hanya bergaul dengan teman sejenis kelamin.
Sebagai solusi, ia menawarkan praktik anti-seksisme di sekolah, antara lain: memberikan alat bermain yang sama bagi semua anak, penggunaan bahasa netral gender, membiasakan kerja sama tanpa membedakan jenis kelamin, serta menanamkan saling menghargai dalam interaksi sosial.
Selain itu, ia membahas rasisme, yaitu diskriminasi berdasarkan ras, suku, atau agama. Pada anak, rasisme dapat memunculkan ejekan, perkelahian, rasa superior, hingga sikap merendahkan kelompok lain. Pendidikan berperan besar dalam membentuk sikap anti-rasisme dengan menanamkan nilai kesetaraan, menjaga bahasa dari stereotip negatif, menghadirkan teladan dari guru, serta membangun komunikasi yang jujur dan terbuka.
“Tarbiyah Islamiyah sebagai Fondasi Kesetaraan Gender dan Kemanusiaan dalam Pendidikan Anak”
Pemateri kedua, Fanida Susilowardani, mengangkat konsep tarbiyah sebagai landasan pendidikan Islam yang menyeluruh. Tarbiyah mencakup tiga aspek utama:
- Tazkiyah (penyucian jiwa),
- Ta‘līm (proses pemberian ilmu), dan
- Tanmiyah (pengembangan potensi manusia).
Fanida menjelaskan bahwa tarbiyah tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk kepribadian anak secara utuh; meliputi aspek spiritual, akhlak, intelektual, emosional, dan sosial. Pendidikan Islam, menurutnya, harus berlandaskan nilai rahmah (kasih sayang), ‘adl (keadilan), dan ta‘awun (tolong-menolong) agar mampu menanamkan kesetaraan gender dan kesadaran kemanusiaan sejak usia dini.
Ia menyampaikan bahwa pembentukan karakter anak dalam tarbiyah dapat ditempuh melalui:
- Keteladanan (uswah hasanah): guru dan orang tua harus menjadi model perilaku adil dan tidak bias gender,
- Pembiasaan (ta‘wīd): membiasakan anak laki-laki dan perempuan bekerja sama, berbagi tugas, dan menghormati perbedaan,
- Refleksi nilai (muhasabah dan tadabbur): mengajak anak memahami makna keadilan, empati, dan kasih sayang melalui pengalaman dan renungan.
Fanida menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa pendidikan Islam yang berperspektif tarbiyah harus mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki akhlak mulia, empati sosial, dan bebas dari bias gender maupun diskriminasi. Pendidikan semacam ini menjadi jalan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan rahmatan lil ‘alamin.