Webinar UIN Sunan Kalijaga Bahas Deep Learning dan Transformasi Pendidikan Islam di Era Digital

Yogyakarta — Di tengah derasnya arus digitalisasi yang kian memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan, dunia pendidikan Islam ditantang untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya. Menyikapi hal itu, Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan webinar bertajuk “Deep Learning dan Transformasi Pendidikan Islam di Era Digital”, Jumat (17/10/2025).

Acara yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting ini diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai daerah, terdiri atas mahasiswa, guru PAUD, dosen, serta pemerhati pendidikan Islam. Webinar ini menghadirkan dua pemateri muda dari program Magister UIN Sunan Kalijaga, yakni Perdana Pashela, S.Pd (Magister PIAUD) dan Khairul Abdillah Harahap, S.Pd (Magister Pendidikan Agama Islam), dengan Ahmad Sukran, S.Pd bertindak sebagai moderator.

Menyambut Era Digital dengan Kearifan Islam

Kegiatan dibuka oleh Dr. Rohinah, S.Pd.I., M.A., selaku Ketua Program Studi PIAUD. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan pentingnya dunia pendidikan Islam untuk terus bertransformasi menghadapi perubahan zaman yang cepat dan penuh tantangan.

Menurutnya, perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan deep learning membawa kemudahan sekaligus tanggung jawab baru bagi para pendidik. Transformasi digital harus disikapi secara arif agar tetap berpijak pada nilai-nilai Islam yang luhur.

“Tema ini sangat menarik dan aktual. Proses pendidikan harus terus bertransformasi dan beradaptasi dengan era digital, namun tetap menempatkan nilai-nilai Islam sebagai dasar. Teknologi bukan tujuan, melainkan sarana untuk memperkuat nilai-nilai pedagogis dan kemanusiaan,” ujar Dr. Rohinah dalam sambutannya.

Beliau menegaskan, pendidikan Islam di era digital tidak boleh kehilangan orientasi etik dan spiritualnya. Nilai-nilai pedagogis perlu dijaga agar teknologi menjadi alat pembelajaran yang humanis, bukan sekadar instrumen mekanis.

“Sebagus apa pun media pembelajaran yang digunakan, peran guru tetap menjadi faktor utama dan dominan dalam pendidikan Islam. Guru adalah ujung tombak yang menentukan arah pembelajaran dan menjadi teladan nilai-nilai keislaman bagi peserta didik,” tambahnya.

Dr. Rohinah juga menyinggung pentingnya profesionalisme dan tanggung jawab moral pendidik dalam menggunakan teknologi digital. Ia berharap, webinar semacam ini dapat membuka ruang refleksi dan dialog bagi para akademisi dan praktisi pendidikan Islam untuk terus berinovasi tanpa melepaskan nilai-nilai maqāṣid al-syarī‘ah — tujuan utama syariat Islam yang menekankan kemaslahatan manusia.

Deep Learning: Menyelam ke Makna Pendidikan yang Sesungguhnya

Pemateri pertama, Perdana Pashela, S.Pd, dalam paparannya membahas tentang “Implementasi Teknologi Deep Learning dalam Pendidikan Islam Anak Usia Dini”. Ia mengawali dengan refleksi kritis: pendidikan anak tidak berhenti di sekolah. Rumah adalah ruang pertama dan utama bagi anak untuk belajar secara mendalam — deep learning dalam arti yang sesungguhnya.

Perdana menilai bahwa banyak orang tua dan pendidik masih memahami proses belajar sebatas hafalan dan pencapaian nilai akademik. Pandangan ini, menurutnya, menjadi salah satu penghambat penerapan deep learning di pendidikan anak usia dini.

“Masih banyak orang tua yang menganggap belajar berarti menghafal atau mengerjakan tugas semata. Padahal, anak belajar lebih baik melalui pengalaman bermakna, eksplorasi, dan refleksi. Deep learning menuntut waktu, kesabaran, dan keterlibatan aktif orang tua dan guru,” paparnya.

Ia menyoroti perlunya model sosialisasi baru bagi orang tua, tidak hanya dalam bentuk parenting class yang informatif, melainkan workshop partisipatif yang memungkinkan mereka mengalami langsung proses belajar yang bermakna.

“Ketika orang tua memahami bagaimana anak belajar secara mendalam, rumah pun akan menjadi ‘kelas kedua’ yang menumbuhkan rasa ingin tahu, kreativitas, dan kemandirian setiap hari,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, Perdana juga menekankan pentingnya kolaborasi intensif antara sekolah dan keluarga. Menurutnya, keberhasilan penerapan deep learning tidak terletak pada kecanggihan teknologi, melainkan pada sinergi antara pendidik dan lingkungan keluarga yang saling mendukung perkembangan anak.

Menjembatani AI dan Spiritualitas Islam

Sementara itu, pemateri kedua, Khairul Abdillah Harahap, S.Pd, mengupas tema “Deep Learning dalam Pengembangan Pembelajaran Berbasis Living Qur’ani pada Anak Usia Dini: Sinergi antara Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Spiritual.”

Khairul menguraikan bahwa era kecerdasan buatan (AI) membawa peluang besar bagi pendidikan. Dengan deep learning, sistem pembelajaran dapat dirancang lebih adaptif dan personal sesuai karakter serta kebutuhan anak. Namun, jika tidak disertai dengan nilai spiritual, teknologi berisiko menimbulkan dehumanisasi — memandang anak semata sebagai objek algoritma, bukan manusia yang memiliki ruh dan fitrah.

“Pendidikan Islam memiliki misi membentuk manusia seutuhnya — bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak dan berjiwa spiritual. Karena itu, pemanfaatan AI harus disinergikan dengan nilai-nilai Qur’ani agar pembelajaran tetap humanis dan bermakna,” kata Khairul.

Ia memperkenalkan konsep Living Qur’ani, yaitu upaya menghidupkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks pendidikan anak usia dini, nilai-nilai seperti empati, syukur, dan kejujuran dapat ditanamkan melalui aktivitas belajar yang berbasis emosi dan pengalaman spiritual.

“Teknologi hanya alat. Nilai Qur’ani adalah ruhnya. Ketika keduanya berpadu, kita tidak hanya melahirkan generasi cerdas secara digital, tetapi juga berjiwa Qur’ani,” tambahnya.

Khairul juga menegaskan peran ganda guru sebagai fasilitator pembelajaran sekaligus pembimbing spiritual. Guru, menurutnya, harus mampu mengelola teknologi tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan dan nilai keislaman. Orang tua pun memiliki peran penting sebagai teladan di rumah agar pendidikan spiritual anak berlanjut secara konsisten.

Kolaborasi dan Etika Digital dalam Pendidikan Islam

Dari kedua pemaparan tersebut, peserta webinar diajak untuk memandang transformasi digital bukan sebagai ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat mutu pendidikan Islam. Namun, perubahan ini tetap harus berlandaskan etika, nilai, dan profesionalisme.

Diskusi berkembang hangat ketika moderator, Ahmad Sukran, S.Pd., menanyakan tentang tantangan etika dalam penggunaan teknologi. Para narasumber sepakat bahwa kemajuan digital menuntut pendidik Islam untuk lebih bijak dan bertanggung jawab.

“AI dan teknologi tidak boleh diperlakukan seolah menggantikan manusia. Justru, manusia dalam hal ini guru harus menjadi pengendali utama agar teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan,” ujar Sukran menegaskan kesimpulan diskusi.

Menjaga Arah Pendidikan Islam

Di penghujung acara, Dr. Rohinah kembali menyampaikan apresiasi kepada para pemateri dan peserta. Ia menekankan bahwa transformasi pendidikan Islam harus selalu berpijak pada maqāṣid al-syarī‘ah dan nilai-nilai dasar Islam.

“Kita boleh mengikuti perkembangan zaman, tetapi arah pendidikan Islam tidak boleh kehilangan kompasnya. Nilai-nilai Islam harus tetap menjadi landasan utama dalam setiap inovasi yang kita lakukan,” tuturnya.

Beliau berharap kegiatan seperti ini menjadi agenda berkelanjutan yang dapat mempertemukan gagasan-gagasan baru di bidang teknologi, pendidikan, dan spiritualitas.

“Semoga webinar ini menjadi langkah awal untuk terus menghidupkan nilai-nilai Qur’ani dalam pendidikan, sekaligus mengajak kita semua untuk memaknai teknologi sebagai sarana menuju kemaslahatan,” pungkasnya.

Refleksi Akhir

Webinar yang berlangsung hampir dua jam tersebut menutup rangkaian acara dengan sesi tanya jawab dan refleksi peserta. Banyak peserta mengaku mendapatkan wawasan baru mengenai bagaimana teknologi dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam secara kreatif dan aplikatif.

Kegiatan ini juga menunjukkan bahwa pendidikan Islam memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam membangun generasi digital native yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga kokoh secara spiritual dan moral.

Seperti ditegaskan para pembicara, deep learning sejatinya bukan hanya metode belajar yang canggih, melainkan sebuah cara pandang baru terhadap proses pendidikan: belajar dengan hati, memahami dengan makna, dan bertindak dengan nilai.