Refleksi Hari Raya Kurban dalam Pendidikan Anak Usia Dini: Membaca Nilai Sosial Keagamaan dalam Bingkai Pendidikan Karakter
Oleh: Hafidh ‘Aziz
Hari Raya Idul adha atau Hari Raya Kurban bukan hanya peristiwa ritualistik yang diwariskan secara turun-temurun dalam tradisi Islam, tetapi juga sebuah ruang simbolik yang sarat makna sosial dan pedagogis. Dalam konteks pendidikan anak usia dini (PAUD), momentum ini dapat dijadikan sebagai media transformatif untuk menanamkan nilai-nilai keikhlasan, solidaritas, dan empati sosial. Namun, pembacaan nilai-nilai tersebut memerlukan pemahaman yang lebih kritis, terutama jika dikaitkan dengan teori-teori sosial mengenai pendidikan, religiusitas, dan pembentukan kesadaran moral sejak dini.
Kurban sebagai Simbol Sosial
Émile Durkheim Pernah berkata, agama berperan sebagai perekat sosial yang menciptakan kohesi kolektif melalui ritus dan simbol. Maka dalam konteks tersebut, Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan mekanisme kolektif yang mempererat solidaritas sosial melalui aksi berbagi. Anak usia dini yang terlibat dalam pengalaman sosial ini—meski secara sederhana—sedang diperkenalkan pada norma-norma sosial yang lebih luas: bahwa hidup bersama mensyaratkan pengorbanan, kepedulian, dan saling memberi.
Sehingga Hari Raya dan Ibadah Kurban, bisa dibaca sebagai ruang pembelajaran yang menumbuhkan empati terhadap ketimpangan sosial. Ketika anak diajak melihat bahwa ada orang lain yang sangat bersyukur menerima daging kurban, mereka sedang diperkenalkan pada struktur realitas sosial yang tidak selalu adil. Artinya Kurban dapat menjadi sarana efektif menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitias sosial sehingga dapat mencerahkan dan membebaskan, seperti yang digagas olehPaulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, Dimana Freire mengingatkan pentingnya pendidikan yang membebaskan, yakni pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis (conscientização) terhadap realitas sosial. Sehingga mendorong terjadinya perubahan sosial menuju tatanan sosial yang lebih humanis berkeadilan.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kuntowijoyo dalam teori Sosiologi Profetik-nya menekankan bahwa agama seharusnya mendorong perubahan sosial melalui tiga prinsip: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Hari Raya Kurban mencerminkan ketiganya: humanisasi (penghormatan pada sesama melalui berbagi), liberasi (pembebasan dari egoisme dan keserakahan), serta transendensi (pengabdian spiritual kepada Tuhan). Pendidikan anak usia dini yang memasukkan makna kurban dalam praktik pembelajaran sebenarnya sedang menanamkan dimensi profetik sejak dini—sebuah bekal karakter yang melampaui sekadar moralitas normatif.
Praktik Edukasi Kurban di PAUD: Lebih dari Aktivitas Tematik
Sayangnya, dalam praktiknya, pengenalan Hari Raya Kurban di lembaga PAUD seringkali berhenti pada kegiatan tematik seperti menggambar hewan kurban atau mendengarkan cerita Nabi Ibrahim. Meskipun kegiatan tersebut penting, namun, tanpa refleksi nilai, anak akan kehilangan peluang memahami kedalaman makna sosial dan spiritual kurban. Di sinilah peran pendidik sangat penting untuk menghadirkan pedagogi yang reflektif dan kontekstual.
Sehingga pendekatan reflektif dan pengalaman nyata anak perlu diintegrasikan dalam desain pembelajaran. Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan:
- Storytelling Kritis:Cerita Nabi Ibrahim dan Ismail tidak hanya disampaikan sebagai kisah ketaatan, tetapi juga dibingkai sebagai dialog tentang pilihan, tanggung jawab, dan kepercayaan. Anak dilibatkan dalam diskusi, bukan hanya mendengar secara pasif.
- Proyek Sosial Mini:Anak diminta terlibat dalam aksi berbagi secara konkret, seperti menyiapkan paket makanan sederhana untuk dibagikan ke orang sekitar. Dengan pendampingan yang tepat, mereka belajar bahwa tindakan kecil pun memiliki dampak sosial.
- Refleksi Visual:Melalui gambar, kolase, atau karya seni, anak diminta menggambarkan perasaan orang yang menerima dan memberi kurban. Guru membimbing mereka mengenali emosi dan mengaitkannya dengan nilai sosial.
- Kunjungan Edukatif:Bila memungkinkan, anak dapat diajak mengunjungi tempat distribusi daging kurban atau berinteraksi dengan komunitas penerima, agar mereka melihat secara nyata wajah-wajah dari masyarakat yang mungkin selama ini “tak terlihat”.
Mengapa Ini Penting? (Pendidikan Moral yang Tidak Asing dari Realitas)
Pendidikan moral yang efektif tidak lahir dari hafalan norma, melainkan dari pengalaman yang menyentuh afeksi dan refleksi. Hari Raya Kurban memberi peluang bagi anak untuk mengalami langsung nilai sosial yang membentuk karakter keislaman yang utuh—tidak hanya ritualistik tetapi juga humanistik.
Dalam dunia yang ditandai oleh kompetisi, konsumerisme, dan individualisme sejak usia dini, pendidikan anak yang hanya menekankan aspek kognitif dan prestasi akademik akan kehilangan arah jika tidak disertai fondasi moral yang kuat. Kurban, dalam hal ini, adalah momentum untuk mengingatkan bahwa pengorbanan, berbagi, dan keikhlasan adalah nilai-nilai yang membentuk peradaban, bukan hanya kesalehan pribadi.
Hikmah Kurban sebagai Pendidikan Sosial-Religius Sejak Dini
Refleksi Hari Raya Kurban dalam pendidikan anak usia dini bukan sekadar memperkenalkan cerita nabi atau menghafal nama hewan. Ia adalah ruang pembelajaran nilai profetik yang melampaui formalitas keagamaan. Dengan pendekatan pedagogi yang reflektif, teoritis, dan kontekstual, kita bisa mengubah momen kurban menjadi bagian dari pendidikan yang membentuk kesadaran spiritual dan sosial anak sejak dini.
Pada akhirnya, dari kurban kita belajar bahwa pendidikan tidak hanya tentang apa yang diajarkan, tetapi bagaimana dan untuk apa ia diajarkan. Maka, mari jadikan kurban sebagai momen membangun generasi yang bukan hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga utuh secara moral dan sosial—generasi yang mampu berkurban untuk nilai, bukan sekadar tradisi.Wallahu A’lam bi As-Showab